Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 17 Agustus 2013

ANTOLOGI PUISI

Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun SMA N 1 Purwokerto dan Hari Ulang Tahun Negara Republik Indonesia ke 68, PPL Terpadu Universitas Muhammadiyah Purwokerto bekerjasama dengan SMA N 1 Purwokerto mengajak SISWA - SISWI seluruhnya untuk menciptakan Puisi yang kemudian nanti akan dikumpulkan menjadi sebuah antologi puisi. Tema puisi-puisi yang dicipta yaitu "PAHLAWAN".

berikut ini adalah format penulisan puisi.

(klik link berikut untuk mendownload format penulisan puisi.docx)

FORMAT PENULISAN PUISI

Minggu, 28 Juli 2013

ini bukan judul



Ya, LYphy, maafkanakudan ayahku.

By : awansenja_  (arif.setiawan727@yahoo.com)& Elpanda (elviandani22@yahoo.com)

Sekolah mulai lengang. Titik-titik hujan mulai terlihat menjuntai di mendung hitam. Mentari seakan benar-benar takluk di peperangan pukul tiga sore ini, menghadapi kilat-kilat yang menyambar-nyambar. Ah, rasakanlah, dingin mulai mengalir di lekuk punggung membasahi sendi-sendi di sekujuran tubuh. Gadis mungil itu masih di kelas. Entah kenapa, ia belum juga bergelayutan di serambi depan kelas atau di halte depan sekolah-meski sudah tak seorang pun disana. Lengang. Atau hanya rasaku saja. Ia masih tetap tenang menggoreskan penanya di secarik kertas itu. Lihatlah... benar-benar nyenyak ia dalam meditasinya. Mungkin kata-kata ini belum cukup benar melukis apa yang kulihat, tapi  seperti itulah.

Lalu bagaimana bisa aku tahu ini? Jika kuceritakan, maka panjanglah juga lama rasanya. Tidak seperti bahasa TERE LIYE yang selalu menyebut waktu atau jarak dengan sepelemparan batu. Atau mendeskripsikan situasi seperti halnya gang-gang kecil di pinggiran sungai yang seringkali lengang itu. Atau adjektiva-adjektivanya yang melambai. Bukan, ini bahkan lebih rumit dari sungai itu sendiri, atau adjektiva dan batu apa itulah.. Kisah ini mengisahkan kisah-kisah lain, bila kau ingin tahu saja.
3 bulan yang lalu....
Entah, serba tak tahu aku kali ini.  Kamar tidurku terasa sesak. Pengap tak kukira. Lemari dan dispenser serta tv tak pernah sedikit pun terasa ada sebelumnya, tapi sekarang benar-benar mereka mengisi penuh kamarku. Mengisi lubang hidungku, menutup erat-erat pelupuk mata. Ah runyam sekali, buta dan kalut. Aku mungkin saja mabuk, atau-ah entahlah.  Yang kutenggak di Elphodibar hanya separuh gelas saja.
Atau hanya pikiranku saja yang mabuk, bukan perasaanku.
Atau perasaan dan pikiranku? Ah, sial! Entahlah, aku benar-benar tak berlangkah di rumah ku ini saat-saat ini.
Lumut hijau dipojok kamarku itu tak pernah kulihat sedikitpun di rumahku yang kemarin sore masih kutinggali. Huh! Sukses benar ayah mempermainkan kami. Entah kabur kemana ia akhir-akhir ini. Kerja tak karuan. Pergi pagi benar dan pulang benar-benar di pagi lagi. Sayang, bukan ia bekerja lembur atau apalah. Kata “kerja” hanyalah sepeluncuran liur yang mengalir dari mulutnya yang getir. Ia pergi mencari kesenangan saja beberapa bulan terakhir ini. Setelah ia dipecat karena-yangkudengar-pengerucutan pekerja dikantornya, ia frustasi. Dan sayang, paragraf ini akan benar-benar penuh sayang. Ya, ia mencari rasa baru dan rasa baru untuk mengobati lukanya. Dengan luka-luka baru. Ah, betapa parahnya ayahku.  Bukan, bukan ayahku lagi. Sayangnya.
.................................
“pak,...”, sapaku kepada lelaki separuh baya itu.
Ia menjawab panggilanku dengan segala kewibawaannya, semilir angin sore di taman menggerak-gerakan setelan kasualnya juga segelintir rambut di kepalanya. Ah, betapa beruntung aku bertemu bekas direktur ayahku. Ya, seperti yang kudengar, bekas.
Obrolan kaku. Tetapi sepercik demi sepercik kata kucoba gelontorkan demi membuka mengapalah ayahku benar-benar tak lagi seperti ayahku.
Sang mantan direktur ayahku hanya menghembus nafas berat. Entah apa yang harus dijawab atas luapan rasa penasaranku padanya. Aku tak peduli. Aku hanya ingin menyeruakkan segala sesuatu tentang ayah yang menghantuiku akhir-akhir ini.
Direktur itu mengungkapkannya. Ia mengungkapkan bahwa ayahku dipecat karena telah mencuri berkas-berkas penting dikantor tersebut. Bahkan ayahku juga dituduh melakukan tindakan korupsi.
Aku menahan nafas mendengar rentetan penjelasan dari sang direktur. Seburuk inikah perangai ayahku di mata mereka? Lalu, mengapa ayah bahkan nyaris tidak peduli dengan permasalahannya?
Aku merasa ada hal ganjil yang terus menggantung di pikiranku, tentang ayahku. Ayah yang tak pantas menjadi seorang ayah.

~

Hujan masih betah mengguyur bumi pertiwi sejak tiga jam yang lalu. Aku masih berdiam diri di serambi kantor ayah untuk menunggu hujan reda. Namun harapanku harus musnah karena rintik-rintik air yang berbondong-bondong terjatuh tak kunjung berhenti.
Mau tidak mau aku mulai menerobos hujan dan menerjang percikan air yang menggenang di jalanan beraspal. Baju resmi yang sengaja kupakai pun basah kuyup. Untung saja aku membawa jaket tebal. Setidaknya ia bisa melindungiku dari kuman-kuman yang berkembangbiak saat hujan.
Aku melirik jam yang melingkar dipergelangan tangan kiriku tergesa. Senja sudah mulai berakhir, dan itu berarti aku harus cepat pulang. Sial! Jalan menuju rumah baruku masih terbilang jauh, dan kini lelah mulai mengancam tubuhku.
Akhirnya kupilih beristirahat disebuah gubuk kecil yang kurasa sudah tidak dipakai lagi untuk melemaskan otot dan sendi yang kian menegang. Sudut mataku juga terus beredar luas kepenjuru gubuk kecil ini.
Tiba-tiba pupil mataku melihat sesosok gadis terduduk disudut ruangan seraya meringkuk dengan pandangan kosong. Rambutnya yang menjuntai panjang, pakaiannya yang basah kuyup, dan juga wajahnya yang pucat pasi itu membuatku tak dapat mengalihkan pandanganku sedikitpun.
Gadis itu menyadari atas tatapanku barusan. Sejenak kami hanya bertatapan, hampa dan tanpa arti. Akhirnya kupilih untuk mendekatinya, hanya untuk memastikan bahwa ia baik-baik saja.
Air muka gadis itu berubah ketika aku mulai mendekatinya perlahan. Kedua tangannya bergetar hebat, dan ia menundukkan kepalanya, takut. Takut seolah-olah ia sedang melihat hantu.
“Kau tak apa?” Tanyaku dengan suara yang telah kubuat merdu. Kini aku telah berada dihadapan gadis itu, berjongkok didepannya.
Gadis itu perlahan mendongak. Betapa terkejutnya ia melihatku telah berjongkok dihadapannya. Gadis itu berteriak kalut, kedua tangannya ia gunakan untuk menutupi telinganya.
“Jangan, jangan mendekat! Jangan bunuh aku!”
Gejolak rasa ketakutan muncul saat gadis itu menatapku. Aku bingung. Awan senja sudah berakhir beberapa menit yang lalu, tapi mengapa gadis itu hanya berdiam diri disini? Dan, mengapa gadis itu bisa berpikiran negative kepadaku bahwa aku akan membunuhnya?
Aku mengulurkan tangan, hendak menyentuh dahinya. Tetapi gadis itu menepis tanganku dengan kasar, tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Namun ia membalas perlakuanku dengan tatapannya. Sorot matanya menunjukkan bahwa ia sedang ketakutan. Aku menghela napas, akhirnya jalan yang kupilih untuk menenangkannya hanyalah menyerahkan jaket tebalku dan kupakaikan kepadanya. Beruntung, ia tak menolaknya.
Aku beranjak menjauh darinya. Hujan sudah reda tanpa kusadari. Aku pun segera melangkahkan kaki pergi dari gubuk kecil itu. Namun sebelumnya, aku menatap gadis itu lagi dari kejauhan.
“Aku pergi dulu..”
Gadis itu mengangguk samar. Aku tersenyum simpul, lalu kini aku benar-benar beranjak dari gubuk kecil itu. Meskipun sebenarnya sangatlah buruk meninggalkan seorang gadis sendirian malam-malam, tetapi hanya itu cara yang bisa kupilih.
Yah, setidaknya aku berpikir bahwa aku masih bisa bertemu dengan gadis itu. Meskipun aku tak tahu kapan waktunya.

~

Sebuah bangunan tua yang masih berdiri kokoh dihadapanku dengan total 3 hektar luasnya yang terkenal dengan sebutan Aswlource High school. Engganlah kedua kakiku untuk bergerak mendekati bangunan tua tersebut, terpaksanya mencari kelas dan segera terduduk manis disana, tanpa ada rasa sedikitpun keingin tahuan tentang sudut-sudut sekolah yang baru kuinjakkan untuk yang pertama kalinya.
Aku bosan. Bosan karena selama ini sekolahku tidak tetap. Selalu saja berpindah-pindah sesuai kemauan ayah. Kali ini juga akibat ulah ayah, aku bisa terdampar dan harus memulainya dari awal lagi untuk melanjutkan proses penerimaan ilmu yang sering terputus, juga interaksiku dengan teman-teman lamaku.
            Aku bukanlah orang yang pandai bergaul. Butuh proses dan cara yang memakan waktu lama agar aku bisa benar-benar mengerti akan proses sosialisasi. Dan kali ini, aku ingin duduk sendiri, menyendiri dan menyelesaikan masalah-demi masalah dengan mandiri. Aku tak butuh bantuan orang lain, setidaknya itulah apa kata hatiku.
Tiba-tiba, terngiang di benakku tentang kejadian kurang dari dua puluh empat jam yang sukses membuat rasa penasaranku melonjak-lonjak. Hujan deras saat detik-detik senja berakhir… Gubuk kecil ditepi taman bermain anak-anak… Dan, tentu saja, gadis pucat itu. Gadis berambut panjang dengan mata sayu yang memancarkan ketakutan mendalam saat melihatku. Gadis berkulit putih pucat yang berteriak dengan lantang ketika aku mencoba menyentuh dahinya. Serta gadis bergaun lusuh yang meringkuk disudut ruangan ketika rintik hujan sedang gencar-gencarnya membasahi tanah ini.
Kuhembuskan nafas dengan beratnya. Bukan hanya hal itu saja yang memenuhi pikiranku saat ini. Ada hal lain yang lebih menyakitkan untuk ku ketahui kebenarannya.
Dialah ayahku. Ayah kandungku yang tidak persis seperti ayah jika dilihat dari sikapnya kepada anak dan istrinya. Ayah yang bahkan tidak peduli dengan nasibku dan ibuku. Bahkan aku tak tahu apa pekerjaannya. Ia bekerja dari subuh hingga subuh berikutnya tanpa menghasilkan keringat jerih payah tanda ia bekerja. Tidak pernah terpikir olehnya untuk membiayai segala keperluanku dan ibuku.
Ibu pun sama saja. Ia nyaris tak pernah pulang. Sekali-sekali ia pulang hanya untuk memberiku uang saku, dan untuk mencukupi segala keperluanku. Aku tak tahu apa yang ibu lakukan diluar sana. Yang jelas, ibuku amatlah muak dengan perlakuan ayah yang jauh dari kasih sayang itu. Sebabnyalah, ia lebih memilih untuk menyibukkan diri, melakukan segala sesuatu agar ia terhindar dari masalah demi masalah yang terbuat dari ayah.
“Kau.. siswa baru?”
Sebuah suara dari samping mejaku sukses membuatku terlonjak, hingga segala yang ada dipikiranku tadi buyar hanya dengan satu kalimat yang diucapkannya. Aku mendongak, memandang wajah yang memanggilku dengan seenaknya sendiri.
Seorang gadis dengan berpenampilan sederhana tengah menyunggingkan senyum terbaiknya kearahku, lalu dengan sigap ia menjulurkan tangan mungilnya dihadapanku.
“Salam kenal, aku Laura Cassandra.”
Aku masih belum bisa mencerna perkataan gadis itu dengan sempurna, karena otak dengan hatiku butuh sinkronisasi yang besar untuk mempercepat laju syaraf motorik dan sensorik dalam sumsum tulang belakangku, akibat terlalu banyak hal-hal yang menjadi beban hidupku.
Kepalaku pening seketika. Namun beruntung, aku masih bisa tersenyum dan membalas uluran tangan gadis itu.
“Alex Harrison,” Jawabku sekenanya, lalu dengan cepat kulepaskan genggaman tangan dengan gadis itu, bermaksud untuk mengabaikannya agar gadis itu pergi dari hadapanku. Aku sedang ingin menyendiri.
Namun hipotesaku hancur seketika bawasanya gadis itu malah duduk disampingku seraya bernyanyi-nyanyi riang. Sontak kutolehkan kepalaku dan kutatapnya dengan pancaran kilatan-kilatan tajam yang tersirat di kedua mataku. Gadis itu hanya nyengir tanpa dosa, menampilkan deretan gigi tetapnya yang tersusun rapi.
“Tempat dudukku memang disini, dan aku duduk sendiri karena jumlah siswa disini ganjil. Itu sebanya akulah teman sebangkumu,” Ujar gadis itu dengan polosnya. Aku menggerutu dalam diam. Rencanaku untuk menyendiri gagal total.
Sepertinya aku tak akan nyaman sebangku bersamanya.

insya Allah bersambung....

Sabtu, 27 Juli 2013

Ada Cerita di Balik Senja




Senja,
Hari ini aku membuka kotak itu. Dan hasilnya masih sama. Kosong. Tapi tidak apa-apa, karena masih ada hari esok. Dan tentunya ada kau di sini. Bagaimana kabarmu? Kau sungguh terlihat cantik hari ini, seperti biasa. Kau sungguh beruntung mempunyai mereka yang selalu setia di sisimu. Aku pun berharap bisa sepertimu dengannya. Ya sudah, hanya itu yang bisa aku ceritakan kepadamu hari ini.

Seperti biasa, aku lipat kertas itu sehingga menyerupai sebuah perahu. Aku hanyutkan ke dalam deburan ombak saat menyentuh bibir pantai. Meskipun sudah aku ceritakan kepada senja, surat ini akan menjadi bukti kesetiaanku kepadanya. Pasir yang basah dan batu karang pun menjadi saksi ceritaku yang kucurahkan kepada senja. Aku pulang dengan senyum yang mengembang. Hari ini cerita yang kubawa untuk senja sudah tak tersisa lagi. Tinggalah menunggu esok. Dan aku tidak tahu. Apakah cerita hari ini akan terulang lagi atau sama sekali berbeda seperti yang aku harapkan. Setiap kali kuhanyutkan suratku untuk senja, bebanku menjadi ringan. Tidak ada lagi yang terasa mengganjal di hati.

Sesampainya di rumah, aku membersihkan sisa-sisa pasir yang masih menempel di jari-jari dan punggung kaki. Bau pasir basah itu selalu melayangkan kenanganku dengannya. Oleh sebab itu, setiap kali aku pulang dari pantai, aku merasakan aroma tubuhnya. Dia berada di sampingku. Tiada momen yang paling indah, kecuali saat dia berada di sampingku. Wajahnya yang teduh mampu membuatku tenang. Senyumnya yang manis mampu menyejukkan hati. Dan kedua mata beningnya seperti ada ikan-ikan yang menari di dalamnya mampu membinarkan nurani ini.

Malam ini aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan komputerku. Tidak terasa waktu berjalan dengan sangat cepat. Seketika jari-jariku berhenti mengetik karena mendengar suara yang tidak asing bagiku. Suara yang selalu aku dengar di pagi, siang, sore, dan malam hari. Akhirnya pintu kamarku berderit. Munculah wajah teduhnya dari balik pintu. Senyumnya yang sangat kukenal dan mata beningya itu seperti dapat kulihat ikan-ikan sedang bermain dengan asyiknya. Setelah lama menunggu kabar darinya, akhirnya dia datang menemuiku. Dia menepati janjinya. Aku senang sekali. Ketika kutatap matanya yang berbinar, semua yang ada di dalam ruangan seperti ikut berbinar menyambut kala itu.
“Senja, aku menunggu kabar darimu. Mengapa kamu tidak sempatkan waktu sejenak untuk membalas surat dariku? Apakah kamu sudah mulai melupakanku? Tetapi dengan kedatanganmu malam ini, aku yakin dengan janjimu. Kita akan bertemu dan bersama-sama lagi,” tanyaku padanya.
Aku pandangi wajah teduhnya, hanya ada senyum manis dan kedua mata yang berbinar. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Aku tahu, dia terlampau bahagia saat itu. Kucurahkan semua rasa kangenku kepadanya. Aku ceritakan pula tentang kebiasaanku bercerita kepada senja di pantai. Bercerita mengenai kabar yang aku tunggu-tunggu darinya. Tentang suratku yang tak dibalasnya sampai saat itu juga. Dia pun hanya tersenyum sambil menatap kedua mataku.
“Senja, mengapa kamu tidak memberi kabar akan datang ke sini? Kalau begitu aku bisa mempersiapkan kedatanganmu. Atau kamu ingin memberi aku kejutan? Kamu memang selalu membuatku senang. Aku kagum dengan sikapmu yang sederhana, tidak berlebihan, tetapi begitu berharga dan benderang di mata dan batinku. Aku senang kamu kembali. Besok pagi akan aku ajak kau menikmati senja. Akan aku kenalkan kau kepada senja. Senja yang selama ini aku jadikan tempat untuk mengadu ceritaku tentangmu. Tentang keberadaanmu yang jauh di sana. Kepada senja pula aku tulis ceritaku tentangmu di secarik kertas yang kuhanyutkan lewat deburan ombak yang menyentuh bibir pantai,” ucapku padanya.
“Bagaimana ceritaku, Senja? Seperti inilah aku saat kau jauh di sana. Hanya berteman dengan senja, deburan ombak, pasir yang basah, batu karang, burung-burung, bahkan siluet perahu yang berlayar dari kejauhan, serta cahaya kemerahan yang seolah menyatu dengan air laut. Begitu indah, seperti halnya bersama kau saat ini,” sambungku dengan nada yang ringan.
Setelah aku bercerita banyak kepadanya, dia hanya menanggapi dengan senyuman dan sesekali tertawa kecil. Saat itu juga, tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara alarm yang berbunyi nyaring tepat di sebelah telingaku. Aku terbangun dari meja dengan tangan kanan masih menggenggam mouse. Aku tertidur semalam. Ke manakah mata yang berbinar itu? Wajah yang teduh dan senyum yang manis? Sampai aku tersadar, ternyata dia datang dalam mimpiku semalam.
“Senja, mengapa tidak ada kabar darimu sampai hari ini?” ucapku dalam hati.

Setelah lama menunggu senja, aku pun bergegas menuju pantai. Di sana sudah ramai dengan mereka yang setia kepada senja. Aku keluarkan secarik kertas dari tas kecil yang kubawa dari rumah.

Senja,
Hari ini aku membuka kotak itu lagi. Dan hasilnya masih sama. Kosong. Tapi tidak apa-apa, karena masih ada hari esok. Dan tentunya ada kau di sini. Bagaimana kabarmu? Semoga selalu bahagia seperti saat ini. Sampai hari ini keadaan masih sama dengan hari-hari sebelumnya. Oh ya, tetapi ada yang berbeda. Aku semalam bertemu dengannya. Dia masih sama, tidak banyak berubah. Dia seperti berada di sampingku saat ini. Namun, itu hanya bayangnya saja. Tidak nyata. Tetapi aku sangat bahagia, karena aroma tubuhnya masih tertinggal hingga saat ini. Dapatkah kau mencium baunya?Aku masih berharap, semoga besok kotak itu tidak lagi kosong. Dan mimpi semalam akan datang menemuiku di dunia nyata. Semoga. Ya sudah, hanya itu cerita hari ini.

Seperti biasa, aku lipat kertas itu sehingga menyerupai sebuah perahu. Aku hanyutkan ke dalam deburan ombak saat menyentuh bibir pantai. Kali ini keadaan masih sama dengan sebelumnya. Dia belum membalas suratku. Aku hanya bisa berprasangka baik kepadanya. Mungkin hanya dengan cara itu agar bisa membuat segala keadaan menjadi baik. Saat berjalan menyusuri bibir pantai, bau pasir yang basah melayangkan kembali kenangan itu. Dan kali ini, aku mendengar tawanya lepas. Suaranya begitu renyah dan enteng. Suara itu makin jelas. Jelas sekali. Suara itu seperti ada tepat di belakangku. Tetapi, aku lanjutkan langkah kakiku, karena aku yakin suara itu tidak lebih dari angan-anganku saja.
Tidak lama kemudian, aku merasa seperti ada yang menepuk pundakku dari belakang. Dan suara itu tidak mungkin salah lagi. Dia datang. Dia yang selama ini aku tunggu-tunggu kabar dan kedatangannya. Mimpi itu akhirnya datang di dunia nyataku. Senja, akhirnya kau pulang menemuiku. Kita akan bersama-sama lagi. Aku segera membalikkan badan. Di sana aku temukan wajah teduhnya. Senyum manisnya terlihat jelas menghiasi wajahnya. Dan mata itu. Kedua mata yang seperti ada ikan-ikan bermain di dalamnya. Kedua matanya yang selalu berbinar.
“Hai, aku sudah pulang,” ucapnya dengan nada yang lembut, seperti angin pantai yang berhembus menyapu tubuhku.
“Aku sengaja tidak memberimu kabar. Bagaimana kabarmu selama ini? Selama aku tidak membalas surat-suratmu. Maafkan aku, karena tidak sempat membalas surat darimu,” tanyanya kepadaku.
“Setelah lama menunggu, akhirnya kamu pun pulang. Aku senang kau pulang. Dan kamu menepati janji itu,” jawabku singkat kepadanya.
Aku dekap tubuhnya. Aku rasakan aromanya yang selama ini hanya datang sebagai bayangan, tidak lebih dari itu. Dan aku benar-benar merasakan aroma itu. Kali ini bukan lagi bayangan atau anganku saja. Ini nyata. Akhirnya dia datang dan berada di dalam dekapanku. Senja, aku tidak bisa berkata apa pun saat ini kepadamu. Hanya kebahagiaan yang aku rasakan.

Keesokkan harinya aku pergi ke pantai. Aku ambil secarik kertas, dan kutuliskan ceritaku kepada senja. Di bibir pantai aku pun duduk diam dan menulis.

Senja,
Hari ini aku membuka kotak itu lagi. Dan kotak itu tak lagi kosong, karena di dalamnya ada sebuah amplop. Tidak salah lagi. Surat balasan darinya akhirnya datang. Tapi, surat itu terlihat usang. Sangat usang. Kotak surat di depan rumahku pun tak kalah usang. Tahukah kau senja? Aku baru menyadari surat itu adalah balasan darinya dulu. Surat balasan darinya yang aku letakkan kembali di dalam kotak surat itu setelah kubaca. Dan satu lagi, kemarin hanyalah bayangnya saja yang kudekap erat. Tidak lebih.
Ya sudah, sekarang hanya ada kau, senja. Dan tentunya Senja yang selalu menjelma menjadi sebuah bayangan. Senja yang selalu ada di nuraniku. Senja yang memiliki wajah teduh, senyum yang teramat manis, dan kedua mata yang selalu berbinar. Senja, kekasihku.